Selasa, 29 September 2015

PRINSIP - PRINSIP ETIKA BISNIS


ETIKA BISNIS

Prinsip – Prinsip Etika Bisnis
Dalam bab sebelumnya kita sudah menunjukan bahwa bisnis mempunyai etika. Namun, kalo bisnis punya etika, maka pertanyaan yang segera timbul adalah manakah norma – norma atau prinsip etika yang berlaku  dalam kegiatan bisnis. Apakahprinsip-prinsip itu berlaku universal, terutama mengingat kenyataan mengenai bisnis globalyang tidak mengenal batas negara- negara dewasa ini? Demikian pula, bagaimana caranya agar prinsip – prinsip tersebut bisa operasional dalam kegiatan bisnis?
1.      Beberapa prinsip umum etika bisnis
Secara umum, prinsip – prinsip yang berlaku dalam kegiatan bisnis yang baik sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari kehidupan kita sebagai manusia. Demikian pula,prinsip – prinsip etika bisnis yang berlaku di indonesia akan sangat dipengaruhi oleh sistem nilai masyarakat kita. Karena itu, tanpa melupakan kekhasan sistem nilai dari setiap masyarakat bisnis, disini secra umum dapat dikemukakan beberapa prinsip eika bisnis tersebut.
*      Prinsip Otonomi
Otonomi adalah sikap dan kemampuan manusia untuk mengambil keputusan dan bertindak berdasarkan kesadarannya sendiri tentang apa yang dianggapnya baik untuk dilakukan. Orang bisnis yang otonom adalah orang yang sadar sepenuhnya akan apa yang menjadi kewajibannya dalam dunia bisnis. Ia tahu mengenai bidang kegiatannya, situasi yang dihadapinnya, apa yang diharapkan darinya, tuntutan dan aturan yang berlaku bagi bidang kegiatannya, sadar dan tahu akan keputusan dan tindakan yang akan diambilnya serta resiko dan akibat yang akan timbul baik bagi dirinya dan perusahaannya maupun bagi pihak lain.
Otonoi juga mengandaikan adanya tanggung jawab. Ini unsur lain lagi yang sangat penting dari prinsip otonomi. Orang otonom adalah orang yang tidak saja sadar kewajibannya dan bebas mengambil keputusan dan tindakan berdasarkan apa yang dianggapnya baik, melainkan juga orang yang bersedia mempertanggungjawabkan keputusan dan tindakannya serta mampu dan bertanggung jawab atas keputusan dan tindakannya serta dampak dari keputusan dan tindakannya itu. Sebaliknya, hanya orang yang bebas dalam menjalankan tindakannya bisa dituntut unuk bertanggung jawab atas tindakannya. Jadi, orang yang otonom adalah orang yang tahu akan tindakannya, bebas dalam melakukan tindakannya, tetapi sekaligus juga bertanggung jawab atas tindakannya. Ini unsur – unsur yang tidak bisa dipisahkan satu dari yang lainnya.
Kesediaan bertanggung jawab ini oleh Magnis-Suseno disebut sebagai kesediaan untuk mengambil titik pangkal moral. Artinya, dengan sikap dan kesediaan untuk bertanggung jawab dan mempertanggungjawabkan keputusan dan tindakan yang diambil bisa dimungkinkan proses pertimbangan moral. Bahkan, menurut Magnis, prinsip moral yang lain baru bisa punya arti dan dilaksanakan jika ada kesediaan untuk bertanggung jawab.
Kesediaan bertanggung jawab tidak hanya merupakan titik pangkal moral melainkan juga adalah konsekuensi dari sikap moral. Atau, dirumuskan secara lain, kesediaan bertanggung jawab merupakan ciri khas dari makhluk bermoral. Orang yang bermoral adalah orang yang selalu bersedia untuk bertanggung jawab atas tindakannya.
Secara khusus dalam dunia bisnis, tanggung jawab moral yang diharapkan dari setiap pelaku bisnis yang otonom punya dua arah. Yang paling pokok adalah tanggung jawab terhadap diri sendiri. Dihadapan diri sendiri setiap orang akan telanjang tanpa ada yang ditutup – tutupi. Ia tidak bisa menipu dirinya. Karena itu, yang paling pokok adalah apakah keputusan dan tindakan bisnis yang dilakukan bisa dipertanggung jawabkan bagi diri sendiri, bagi suara hati pribadi. Orang bertanggung jawab aan merasa tenang, OK dengan diri sendiri, dan bahkan bangga dan kuat dengan keputusan dan tindakannya, kendati mungkin tidak dipuji oleh pihak lain, tanpa harus menjadi arogan dan tidak peduli.
Yang kedua, tanggng jawab moral juga tertuju kepada semua pihak terkait yang berkepentingan (stakeholder): konsumen, penyalur, pemasok, investor, atau kreditor, karyawan, masyarakat luas, relasi – relasi bisnis, pemerintah, dan seterusnya. Artinya, apakah keputusan dan tindakan bisnis yang diambil secara sadar dan bebas tadi, dari segi kepentingan pihak – pihak terkait itu, dapat dipertanggung jawabkan secara moral.

*      Prinsip Kejujuran
Sekilas kedengarannya aneh bahwa kejujuran merupakan prinsip etika bisnis karena mitos keliru bahwa bisnis adalah kegiatan tipu – menipu demi meraup untung.
Kejujuran dalam berbisnis adalah kunci keberhasilan.
Pertama, kejujuran relevan dalam pemenuhan syarat – syarat perjanjian dan kontrak. Dalam mengikat perjanjian dan kontrak tertentu, semua pihak seara a priori saling percaya satu sama lain, bahwa masing  masing pihak tulus dan jujur dalam membuat perjanjian dan kontrak itu dan kontrak lebih dari itu serius serta tulus dan jujur melaksanakan janjinya.
Kedua, kejujuran relevan dalam penawaran barang dan jasa dengan mutu dan harga dan sebanding. Sebagaimana sudah dikatakan didepan, dalam bisnis modern penuh persaingan, kepercayaan konsumen adalah hal yang paling pokok. Maka, sekali pengusaha menipu konsumen, entah melalui iklan, entah melalui pelayanan yang tidak etis sebagaimana di gembar – gemborkan, konsumen akan dengan mudah lari ke produk lain.
Ketiga, kejujuran juga relevan dalam hubungan kerja intern dalam suatu perusahaan. Omong kosong bahwa suatu perusahaan bisa bertahan kalo hubungan kerja dalam perusahaan itu tidak dilandasi oleh kejujuran, kalo karyawan ditipu oleh atasan dan sebaliknya atasan terus – menerus ditipu oleh karyawan. Maka, kejujuran dalam perusahaan justru adalah inti dan kekuatan perusahaan itu.


*      Prinsip Keadilan
Prinsip keadilan menuntut agara setiap orang diperlakukan secara sama sesuai dengan aturan yang adil dan sesuai dengan kriteri yang rasional, objektif dan dapat dipertanggungawabkan. Demikian pula, prinsi keadilan menuntut agar setiap orang dlam kegiatan bisnis entah dalam reaksi eksternal perusahaan maupun reaksi internal perusahaan perlu diperlakukan sesuai dengan haknya masing-masing. Keadilan menuntut agar tidak boleh ada pihak yang dirugikan hak dan kepentingannya.

*      Prinsip Saling Menguntungkan (Mutual Benefit Principal)
Prinsip ini menuntut agar bisnis dijalankan sedemikian rupa sehingga menguntungkan semua pihak. Jadi, kalau prinsip keadilan menuntut agar tidak boleh ada pihak yang dirugikan hak dan kepentingannya, prinsip saling menguntungkan secara positif menuntut hal yang sama, yaitu agar semua pihak berusaha untuk saling menguntungkan satu sama lain.

*      Prinsip Integritas Moral
Prinsip ini terutama dihayati sebagai tuntutan internal dalam diri pelaku bisnis atau perusahaan agar di perlu menjalankan bisnis dengan tetap menjaga nama baiknya atau nama baik perusahaannya. Ada sebuah imperatif moral yang beraku bagi dirinya sendiri dan perusahaannya untuk berbisnis sedemikian rupa agar dipercaya, tetap paling unggul, tetap yang terbaik. Dengan kata lain, prinsip ini merupakan tuntutan dan dorongan dari dalam diri pelaku dan perusahaan untuk menjadi yang terbaik dan dibanggakan. Menurut Adam Smith prinsip no harm (tidak merugikan hak dan kepentingan orang lain) merupakan prini paling minim dan paling pokok yang harus ada bagi interaksi sosial manapun, termasuk bisnis.
Yang menarik pad prinsip no harm adalah bahwa sampai tingkat tertentu dalam prinsip ini telah terkandung semua prinsip etika bisnis lainnya. Dalam prinsip no harm sudah dengan sendirinya terkandung prinsip kejujuran, saling menguntungkan, otonomi (termauk kebebasan dan tanggung jawab), dan integritas moral. Orang yang jujur dengan sendirinya tidak akan merugikan orang lain; orang yang mau saling menguntungkan dengan pihak lain tentu tidak akan merugikan pihak lain itu; dan demikian pula orang yang otonom dan bertanggung jawab tidak akan mau merugikan orang lain tanpa alasan yang dapat diterima dan masuk akal.
Pada akhirnya prinsip ini menjadi dasar dan jiwa dari semua aturan  bisnis dan sebaliknya semua praktek bisnis yang bertentangan dengan prinsip ini harus dilarang. Maka, misalnya, monopoli, kolusi, nepotisme, manipulasi, hak istimewa, perlindungan politik, dan seterusnya harus dilarang karena bertentangan dengan prinsip no harm.
Prinsip keadilan, khususnya no harm, merupakan rumusan lain dari The Golden Rule (Kaidah Emas) yang klasik itu : Perlakuan orang lain sebagaimana Anda ingin diperlakukan, dan jangan lakukan pada orang lain apa yang Anda sendiri tidak ingin dilakukan pada Anda. Prinsip no harm, daar moralnya adalah bahwa setiap orang adalah manusia yang sama harkat dan martabatnya. Maka, apa yang Anda inginkan dari orang lain, itulah yang juga Anda lakukan pada orang lain.
2.      Etos Bisnis

Etos bisnis adalah suatu kebiasaan atau budaya moral yang menyangkut kegiatan bisnis yang dianut dalam suatu perusahaan dari generasi ke generasi yang lain. Inti etos bisnis adalah pembudayaan atau pembiasaan penghayatan akan nilai, norma, atau prinsip moral tertentu yang dianggap sebagai inti kekuatan dari suatu perusahaan yang sekaligus juga membedakannya dari perusahaan yang lain. Wujudnya bisa dalam bentuk pengutamaan mutu, pelayanan, displin, kejujuran, tanggung jawab, perlakuan yang fair tanpa diskriminasi, dan seterusnya.
Umumnya etos bisnis ini pertama dibangun atas dasar visi atau filsafat bisnis pendiri suatu perusahaan sebagai penghayatan pribadi orang tersebut mengenai bisnis yang baik. Etos inilah yang menjadi jiwa yang menyatukan sekaligus juga menyemangati seluruh karyawan untuk bersikap dan berpola perilaku yang kurang lebih sama berdasarkan prinsip yang dianut oleh perusahaan tersebut.
Secara lebih jelas, pada tingkat pertama adalah nilai. Nilai adalah apa yang diyakini sebagai hal yang paling mendasar dalam hidup ini dan menyangkut kondisi yang didambakan dan paling penting bagi seseorang atau kelompok orang dan sekaligus paling menentukan dalam hidup orang atau kelompokorang lain.

3.      Relativitas Moral dalam Bisnis

Menurut De George, kita perlu melihatterlebih dahulu 3 pandangan yang umum dianut. Pandangan pertama adalah bahwa norma etis berbeda antara satu tempat dengan tempat yang lain. Artinya, dimana saja suatu perusahaan beroperasi, ikuti norma dan aturan moral yang berlaku dalam negara tersebut. Pandangan kedua adalah bahwa norma sendirilah yang paling benar dan tepat. Karena itu prinsip yang harus dipegang adalah “bertindaklah dimana saja sesuai dengan prinsip yang dianut dan berlaku dinegaramu sendiri.” Pandangan ketiga adalah pandangan yang disebut De George immoralis naif yang mengatakan bahwa tidak ada norma moral yang perlu diikuti sama sekali. Karena pandangan yang ketiga sama sekali tidak benar, maka tidak kita bahas disini.
Menurut De George prinsip yang paling pokok yang berlaku universal, khususnya dalam bisnis adalah prinsip integritas pribadi atau integritas moral.
Ada dua keunggulan prinsip integritas pribadi dibandingkan dengan prinsip lainnya. Pertama, prinsip integritas pribadi tidak punya konotasi negative seperti halnya pada prinsip – prinsip moral lainnya, bahkan pada kata etika dan moralitas itu sendiri. Bagi banyak orang, kata etika, apalagi prinsip etika, mempunyai nada moralitas dan paksaan dari luar. Kedua, bertindak berdasarkan integritas pribadi berarti bertindak sesuai dengan norma – norma perilaku yang diterima dan dianut diri sendiri dan juga berarti memberlakukan pada diri sendiri norma – norma juga dianut oleh etika dan moralitas. Dengan kata lain, prinsip integritas pribadi mengandung pengertian bahwa norma yang dianut adalah norma yang sudah diterima menjadi milik pribadi dan tidak lagi bersifat eksternal.

4.      Pendekatan Stakeholder

Pendekatan stake-holder adalah cara mengamati dan menjelaskan secara analitis bagaimana berbagai unsur dipengaruhi dan mempengaruhi keputusan dan tindakan bisnis. Pendekatan ini mempunyai tujuan imperatif: bisnis dijalankan sedemikian rupa agar hak dan kepentingan semua pihak terkait yang berkepentingan (stakeholder) dengan suatu kegiatan bisnis dijamin, diperhatikan, dan dihargai.
Dasar pemikirannya adalah bahwa semua pihak yang punya kepentingan dalam suatu kegiatan bisnis terlibat di dalamnya karena ingin memperoleh keuntungan, maka hak dan kepentingan mereka harus diperhatikan dan dijamin. Ini berarti, pada akhirnya pendekatan stakeholder menuntut agar bisnis apapun perlu dijalankan secara baik dan etis justru demi menjamin kepentingan semua pihak yang terkait dalam bisnis tersebut. Yang juga menarik adalah bahwa sama dengan prinsip no harm, pendekatan ini pun memperlihatkan secara sangat gambling bahwa pada akhirnya pendekatan ini pun ditempuh demi kepentingan bisnis perusahaan yang bersangkutan. Artinya, supaya bisnis dari perusahaan itu dapat berhasil dan bertahan lama, perusahaan manapun dalam kegiatan bisnisnya dituntut, atau menuntut dirinya, untuk menjamin dan menghargai hak dan kepentingan semua pihak yang terkait dengan bisnisnya.
Pada umumnya ada 2 kelompok stakeholders: kelompok primer dan kelompok sekunder. Kelompok primer terdiri dari pemilik modal atau saham, kreditor, karyawan, pemasok, konsumen, penyalur, dan pesaing atau rekanan. Kelompok sekunder terdiri dari pemerintah setempat, pemerintah asing, kelompok social, media massa, kelompok pendukung, masyarakat pada umumnya, dan masyarakat setempat. Yang paling penting diperhatikan dalam suatu kegiatan bisnis tentu saja adalah kelompok primer karena hidup matinya, berhasil tidaknya bisnis suatu perusahaan sangat ditentukan oleh relasi yang saling menguntungkan yang dijalin dengan kelompok primer tersebut. Perusahaan tersebut harun menjalin relasi bisnis yang baik dan etis dengan kelompok tersebut: jujur, bertanggung jawab dalam penawaran barang dan jasa, bersikap adil terhadap mereka, dan saling menguntungkan satu sama lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA ( K3 )

MAKALAH KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA (K3) BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Keselamatan dan kesehatan kerja adal...